Abu Rayah, Pengkritik Integritas Abu Hurairah Sebagai Perawi Hadis

Hidayatuna
4 min readMay 25, 2021

--

HIDAYATUNA.COM — Nama lengkapnya adalah Mahmud Abu Rayah. Ia lahir di Mesir pada 1889 dan meninggal tahun 1970. Abu Rayah adalah khirrij (alumni) di Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad, yang didirikan oleh Rasyid Ridha.

Selama belajar di madrasah tersebut, ia banyak terpengaruh oleh pemikiran Ridha dan Muhammad Abduh. Di antara keterpengaruhan Abu Rayah terhadap dua tokoh ini yang paling menonjol adalah penolakannya terhadap taqlid mazhab.

Selama melakukan riset terhadap literatur-literatur hadis, Abu Rayah menemukan kejanggalan-kejanggalan yang membuatnya resah. Pada akhirnya melakukan kritik terhadap para ulama masa lalu. Begitu pun ulama al-Azhar, khususnya yang dianggapnya jumud (stagnan) dalam melakukan studi hadis, karena hanya berkutat di fiqh al-madzahib al-arba’ah.

Oleh karena itu, Abu Rayah menerobos halangan taqlid dengan cara melepaskan diri dari belenggu teori-teori para ulama sebelumnya. Terutama dalam melakukan penelitian terhadap hadis.

Koreksi Abu Rayah Terhadap Konsep “‘Adalat al-Shahabah”

Tentang konsep ‘adalat al-shahabah, yang menjadi perhatian Abu Rayah adalah kalimat “muta’ammidan” dalam potongan hadis “Man kadzaba alaiyya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu min al-nar”. Ia menegaskan bahwa kata muta’ammidan (dengan sengaja), tidak ditemukan dalam redaksi-redaksi hadis riwayat para sahabat senior semisal al-khulafa’ al-rasyidun.

Ia menuduh sahabat-sahabat lain seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan lainnya yang memasukkan kata muta’ammidan dengan cara idraj (menyisipkan perkataan mereka ke dalam hadis Nabi). Dengan alasan untuk membebaskan mereka dari tuduhan karena secara tidak disengaja. Para sahabat telah mereka-reka sabda Nabi Muhammad Saw., atau hal-hal tentang Nabi dengan alasan memajukan Islam.

Dengan ini, Abu Rayah ingin menunjukkan bahwa kebohongan (al-kidzb) telah terjadi di kalangan para sahabat. Oleh karena itu, semua hadis riwayat dari semua sahabat harus diuji kualitasnya, tak terkecuali hadis-hadis hasil takhrij imam Bukhari dan imam Muslim.

Argumentasi lain yang dikemukakan Abu Rayah untuk mengkritisi konsep keadilan ( ta’dil) para sahabat adalah adanya kenyataan bahwa pernah terjadi perdebatan di kalangan para sahabat. Hal ini karena adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan iktsar al-hadits (bertambahnya hadis).

Kritik Abu Rayah Terhadap Integritas Abu Hurairah dan Hadis yang Diriwayatkannya

Beberapa kritik yang dilayangkan Abu Rayah terhadap integritas Abu Hurairah diantaranya adalah:

Pemalas dan Rakus

Salah satu tuduhan keras Abu Rayah yang dialamatkan kepada Abu Hurairah adalah sifat pemalas. Menurut hasil pembacaan Abu Rayah, Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan tetap (baca; srabutan).

Sehari-hari, ia hanya mengikuti Nabi Muhammad saw. kemanapun beliau pergi. Abu Hurairah juga pribadi yang rakus, terutama ketika ia diberi posisi penting sebagai amir (gubernur) pada masa pemerintahan Dinasti Umaiyyah. Selain itu, ia gemar memakan madlirah (sejenis roti berlapis madu).

Pembohong dan Pendusta

Klaim dusta terhadap Abu Hurairah didasarkan pada kabar bahwa Abu Hurairah yang hanya tinggal bersama Nabi kurang lebih tiga tahun, bisa meriwayatkan hadis yang begitu banyak. Banyaknya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dibanding para sahabat yang lain, dicurigai oleh Abu Rayah sebagai hal yang tidak wajar.

Untuk membuktikan kecurigaannya itu, Abu Rayah mengutip dawuh Imam Ja’far al-Iskari bahwa Mu’awiyah pernah memobilisasi beberapa sahabat dan sekelompok tabi’in. Untuk meriwayatkan kabar-kabar kurang baik tentang Ali bin Abi Thalib, dengan imbalan hadiah yang menggiurkan.

Keinginan Mu’awiyah nampaknya berhasil. Beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Amru bin ‘Ash, al-Mughirah bin Syu’bah, dan beberapa tabi’in seperti Urwah bin Zubair membuat-buat berita yang memuaskan dan melegakan Mu’awiyah.

‘Umar juga beberapa kali melakukan klarifikasi ( tabayun) terhadap beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, di antaranya hadis yang berbunyi:

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Bentuk klarifikasi ‘Umar terhadap Abu Hurairah misalnya dapat dilihat dari perkataan ‘Umar, “Pilih, engkau tinggalkan periwayatan hadith, atau aku akan memulangkanmu ke tanah Daus!” Setelah diskusi cukup panjang, barulah ‘Umar menerima dan mengakui periwayatan hadisnya. Kata ‘Umar, “Kalau begitu, pergilah dan riwayatkan hadits!.”

Koruptor Uang Negara

Selain rakus dan pendusta, Abu Hurairah juga dituduh telah melakukan korupsi ketika menjabat sebagai gubernur di Bahrain. Dalam kitab al-’Iqd al-Farid karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd Rabbih al-Andalusi disebutkan bahwa ‘Umar mencela Abu Hurairah karena membeli kuda-kuda seharga 1.600 dinar.

Abu Hurairah menjelaskan bahwa semua itu ia hasilkan dari memelihara kuda-kuda dan hadiah-hadiah yang ia terima. Namun ‘Umar tetap memaksa Abu Hurairah agar mengembalikan kelebihan kekayaannya ke Bait al-Mal (kas negara).

‘Umar memang sangat teliti dan selektif dalam memilih dan mengangkat pejabat di pemerintahannya. ‘Umar punya kebiasaan menghitung jumlah kekayaan para gubenurnya, dan menyita separoh dari jumlah tambahan kekayaan mereka. Sebagai hukumannya, Abu Hurairah dicambuk punggungnya hingga berdarah.

Setelah peristiwa itu, ‘Umar kembali memanggil Abu Hurairah untuk diangkat kembali menjadi gubernur, namun Abu Hurairah menolak seraya berkata, “Saya takut dicaci kehormatanku, dipukul punggungku, dan disita hartaku.”

Kritik Abu Rayah Terhadap Hadis-Hadis Riwayat Abu Hurairah

Abu Rayah merasa terheran-heran ketika mengkaji beberapa hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, di antaranya hadis tentang kentut. Redaksi hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: إِذَا نُوْدِيَ للصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى ِإذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قَضَى اَلتَّثْوِيْبَ أَقْبَلَ حَتَّى ُيْخطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ، يَقُولُ اذْكُرْ كذَا اُذْكُرْ كذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظِلَّ الرَّجُلُ لَا يَدْرِيَ كَمْ صَلَّى.

Hadis ini diriwayatkan imam Bukhari dan imam Muslim. Hanya saja dalam riwayat imam Muslim, menggunakan redaksi حتى لا يسمع صوته.

Abu Rayah mengakui bahwa dari sisi sanad, hadis ini memang sahih, akan tetapi secara etika sulit untuk diterima dan diakui, katanya. Katanya lagi, Nabi Muhammad tidak mungkin mengucapkan kata-kata kasar dan remeh seperti itu.

Hal yang cukup mengherankan adalah sabda-sabda yang konon disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. itu secara retorika tidak bisa diterima dan tidak etis diucapkan oleh seorang nabi.

Referensi:

Mahmud Abu Rayah, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Mekkah: Dar al-Ma’arif, 1957)

G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir 1890–1960 (Bandung: Mizan, 1999)

Muhammad bin ‘Abd Rabbih al-Andalusi, al-’Iqd al-Farid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983)

Originally published at https://hidayatuna.com on May 25, 2021.

--

--